Perubahan
atau amandemen terhadap UUD 1945 merupakan amanat dari UUD 1945 itu sendiri. Pada
pasal 37 UUD 1945, ketentuan tentang perubahan terhadap UUD 1945 mendapatkan
jaminan tertulis tersendiri.
Sumber:http://wahyuboisheda.blogspot.co.id |
Sejak
diberlakukan kembali pada tahun 1959 sampai dengan 1998, konstitusi kita
tidak
pernah mengalami pergantian atau bahkan perubahan terhadap konten
konstitusi. Konstitusi UUD 1945 dianggap sebagai benda keramat yang “Pamali” jika dilakukan perubahan
terhadapnya. Padahal di dalam konstitusi itu sendiri membolehkan kita untuk
melakukan perubahan terhadap pasal demi pasal.
Seiring
dengan bergulirnya aksi demonstrasi pada tahun 1998 dan peralihan dari orde
baru ke orde reformasi, maka perubahan terhadap UUD 1945 tidak lagi dianggap
tabu. Sejak tahun 1998, kita sudah empat kali mengalami perubahan atau
amandemen terhadap UUD 1945.
Pertanyaannya,
apa yang melatarbelakangi perubahan terhadap UUD 1945 ?
Dasar
pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan terhadap UUD Tahun 1945, antara lain, sebagai berikut :
1. Undang – Undang
Dasar Tahun 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan
tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal itu
berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi pada institusi – institusi ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR merupakan
kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seolah – olah tidak
memiliki hubungan dengan rakyat.
2. Undang – Undang Dasar Tahun 1945 memberikan kekuasaan
yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden). Pada diri
presiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan yang dilengkapi dengan
berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain
memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi) dan kekuasaan
legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang – undang. Dua cabang
kekuasaan negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara
yang berbeda tetapi nyatanya berada di satu tangan (Presiden) yang menyebabkan
tidak bekerjanya prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks
and balances) dan berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter.
3. Undang – Undang Dasar Tahun 1945 mengandung pasal – pasal
yang terlalu “luwes” sehingga dapat
menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir), misalnya
Pasal 7 Undang - Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali”. Rumusan pasal itu dapat ditafsirkan
lebih dari satu, yakni tafsir pertama bahwa presiden dan
wakil presiden dapat dipilih berkali – kali dan tafsir kedua adalah bahwa
presiden dan wakil presiden hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali
dan sesudah itu tidak boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum diubah)
yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memberikan penjelasan dan memberikan
arti apakah yang dimaksud dengan orang Indonesia asli. Akibatnya rumusan itu membuka
tafsiran beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara
Indonesia yang lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya
adalah orang Indonesia.
4. Undang – Undang Dasar Tahun 1945 terlalu banyak memberikan
kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal – hal penting dengan
undang – undang. Undang – Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan
bahwa Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan
hal – hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang – undang. Hal itu menyebabkan
pengaturan mengenai MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), HAM, dan pemerintah daerah disusun oleh
kekuasaan Presiden dalam bentuk pengajuan rancangan undang – undang ke DPR.
5. Rumusan Undang – Undang Dasar Tahun 1945 tentang semangat
penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat
aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan
rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan otonomi daerah. Hal itu membuka
peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sesuai
dengan Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
antara lain, sebagai berikut. (Sumber. Sekretariat Jenderal MPR RI)
- Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
- Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
- Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
- Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 Undang – Undang Dasar Tahun 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli, dan monopsoni.
Itulah beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran tentang
perlu dilakukannya perubahan terhadap UUD Tahun 1945. Setiap perubahan terhadap
UUD 1945 memang pada hakekatnya diiringi oleh keinginan untuk mewujudkan
kehidupan bernegara yang lebih baik, dengan didasari oleh pondasi kehidupan
bernegara yang baik pula. Semoga perubahan terhadap konstitusi negara ini tidak
diboncengi oleh kepentingan politik seseorang ataupun sekelompok orang guna
mencapai ambisi sepihak.