Liputan, opini dan pembelajaran

Mulai saja Menulis

Liputan, Opini dan Pembelajaran

Mulai saja Menulis

Liputan, Opini dan Pembelajaran

Mulai saja Menulis

Liputan, Opini dan Pembelajaran

Friday 19 April 2024

Amicus Curiae: Gerakan Moral Dalam Menguatkan Independensi Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam demokrasi yang sehat, proses pemilihan umum menjadi pilar utama dalam menentukan arah negara dan nasib rakyat. Namun, tidak jarang proses ini diiringi oleh sengketa yang kompleks dan kontroversial, terutama ketika pemilihan presiden dan wakilnya menjadi sorotan publik. Di tengah kerumitan ini, peran Mahkamah Konstitusi sebagai penengah yang adil dan netral menjadi semakin penting.

Dalam menghadapi sengketa pemilu ini, adalah gerakan moral yang dikenal sebagai "Amicus Curiae" menarik perhatian. Sejumlah tokoh publik mendaftarkan diri untuk menjadi bagian di dalamnya. Dalam konteks hukum, Amicus Curiae, yang berarti "teman pengadilan", merujuk pada pihak ketiga yang memberikan pandangan atau informasi tambahan kepada pengadilan untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Gerakan ini memiliki potensi besar untuk memengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi.

Amicus Curiae bukan sekadar kelompok kepentingan atau pihak yang berkepentingan dalam sengketa, bahkan bukan hanya untuk mendongkrak popularitas, tetapi juga merupakan wadah bagi suara moral dan etis yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara lebih luas. Dengan membawa argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral dan keadilan, Amicus Curiae mendorong Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dampak sosial, politik, dan moral dari putusan yang akan diambil.

Dalam konteks sengketa pemilu presiden, kehadiran Amicus Curiae dapat membawa perspektif yang lebih holistik dan memperkaya diskusi tentang keadilan dan integritas proses demokratis. Dengan memberikan pandangan dari berbagai segi masyarakat, termasuk kelompok yang mungkin terpinggirkan atau kurang terwakili, Amicus Curiae memperluas cakupan dan kedalaman pemikiran Mahkamah Konstitusi.

Namun, sementara Amicus Curiae menawarkan kontribusi yang berharga dalam proses hukum, perlu diingat bahwa Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kewajiban untuk menjaga independensinya dan memutuskan berdasarkan hukum dan konstitusi. Meskipun argumen moral dapat memengaruhi pandangan hakim, keputusan akhir tetap harus didasarkan pada pertimbangan hukum yang jelas dan bukti yang meyakinkan.

Dengan demikian, sementara Amicus Curiae dapat menjadi kekuatan moral yang memperkaya diskusi hukum, keputusan Mahkamah Konstitusi harus tetap terpelihara dalam kerangka hukum yang kokoh dan netral. Dalam konteks sengketa pemilu presiden, sinergi antara prinsip-prinsip moral dan keadilan dengan kepatuhan terhadap hukum dan konstitusi menjadi kunci untuk mencapai keputusan yang adil dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.

Share:

Thursday 28 March 2024

Bantuan Sosial dan Alat Transaksional Politik

Bantuan sosial, seharusnya menjadi instrumen untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi, namun kenyataannya sering kali dimanfaatkan sebagai alat transaksional politik. Fenomena ini telah menjadi pola yang mengkhawatirkan dalam ranah politik di banyak negara, terutama di negara-negara berkembang. Ironisnya, program bantuan sosial yang seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat rentan malah digunakan sebagai senjata politik untuk memperoleh dukungan elektoral.

Dalam banyak kasus, penerima bantuan sosial dijadikan sebagai target politik untuk mendapatkan suara dalam pemilihan umum. Para politisi seringkali memanfaatkan distribusi bantuan sosial sebagai alat untuk membangun basis massa atau memperkuat jaringan politiknya. Mereka menggunakan bantuan sosial sebagai cara untuk memperoleh loyalitas politik dari masyarakat yang rentan atau terpinggirkan secara ekonomi. Dengan demikian, bantuan sosial bukan lagi merupakan bentuk kepedulian sosial semata, melainkan menjadi bagian dari strategi politik yang rakus.

Penggunaan bantuan sosial sebagai alat transaksional politik tidak hanya merugikan dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang yang merugikan. Praktik semacam ini menciptakan siklus kemiskinan dan ketergantungan politik yang sulit diputuskan. Masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat bantuan sosial tidak mendapatkan perlindungan yang sesuai, sementara para politisi yang korup dan tidak bertanggung jawab terus mengukuhkan kekuasaan mereka.

Di sisi lain, ada pula argumen yang menyatakan bahwa tidak sepenuhnya adil untuk menyalahkan para politisi secara eksklusif dalam masalah ini. Bantuan sosial seringkali terjebak dalam birokrasi yang lambat dan korup, yang membuatnya rentan terhadap penyalahgunaan dan manipulasi politik. Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistematis dalam administrasi dan pengawasan program bantuan sosial untuk memastikan bahwa manfaatnya benar-benar sampai kepada yang membutuhkan tanpa disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Untuk mengatasi masalah kompleks ini, dibutuhkan keterlibatan aktif dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga masyarakat sipil, dan masyarakat umum. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam program bantuan sosial, serta memperkuat mekanisme pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan politik. Di samping itu, pendidikan politik juga penting agar masyarakat lebih sadar akan hak-hak mereka dan mampu menuntut pertanggungjawaban dari para pemimpin mereka.

Secara keseluruhan, hubungan yang kompleks antara bantuan sosial dan alat transaksional politik mencerminkan tantangan yang besar dalam membangun masyarakat yang adil dan demokratis. Diperlukan langkah-langkah konkrit dan komprehensif untuk memecahkan masalah ini, demi menciptakan sistem yang memberikan perlindungan sosial yang layak bagi semua warga tanpa terjebak dalam permainan politik yang tidak sehat.

Share:

Thursday 14 March 2024

Regenerasi Kepemimpinan Muda: Mengurai Kepentingan Politik di Baliknya

Dalam dinamika politik saat ini, regenerasi kepemimpinan baik di tingkat pusat maupun daerah sedang menjadi topik penting yang terus diperbincangkan. Di tengah aspirasi masyarakat untuk sebuah perubahan, posisi kepemimpinan yang diteruskan kepada generasi muda seringkali dipandang sebagai langkah positif. Namun, di balik proses regenerasi kepemimpinan ini, terdapat dinamika kompleks yang tidak terlepas dari kepentingan politik. Tulisan ini sedikit menguraikan tentang proses regenerasi kepemimpinan kepada yang muda, meski disambut baik oleh masyarakat, namun juga terpengaruh oleh kepentingan politik yang tersembunyi.

Proses regenerasi kepemimpinan dalam dunia politik bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada generasi muda berperan aktif dalam pembangunan dan pengambilan keputusan di tingkat politik. Pemberian kesempatan ini diharapkan dapat menghasilkan ide-ide segar, perspektif baru, dan energi positif dalam menjawab tantangan zaman. Namun, di balik narasi positif tersebut, terdapat kepentingan politik dari berbagai pihak yang mendominasi. Elite politik yang sudah nyaman cenderung melihat regenerasi kepemimpinan ini sebagai peluang untuk mempertahankan atau memperluas pengaruh mereka dalam lingkaran kekuasaan. Mereka akan terus berupaya mencari figur muda yang bisa mereka kendalikan atau yang dapat menjaga "status quo" yang menguntungkan bagi mereka.

Proses sosialisasi, seleksi dan pendidikan politik bagi calon-calon pemimpin muda sering kali juga dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan yang sedang berjalan dan kepentingan politiknya. Institusi-institusi politik yang mendominasi memiliki peran besar dalam menentukan siapa yang akan diangkat sebagai pemimpin muda dan bagaimana mereka akan dipersiapkan untuk berperan dalam politik. Begitupun dengan aspek publikasi, media massa dan opini publik turut memainkan peran penting dalam proses regenerasi kepemimpinan. Bagaimana seorang pemimpin muda dipresentasikan oleh berbagai media, baik cetak, elektornik ataupun media sosial serta bagaimana respon publik terhadapnya, dapat memengaruhi kesuksesan atau kegagalan mereka dalam mencapai posisi politik yang diinginkan.

Meski terdapat berbagai kepentingan politik di baliknya, pemimpin muda juga memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam menjawab tantangan-tantangan zaman. Mereka perlu dipaksa agar mampu memahami dinamika politik yang kompleks, menghadapi tekanan dari berbagai kepentingan, dan tetap setia pada nilai-nilai dan visi yang mereka anut, bukan sekedar mewarisi pengaruh dari leluhurnya. Regenerasi kepemimpinan kepada yang muda adalah langkah yang penting dalam memperbaharui politik dan memperkuat demokrasi. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa proses ini tidak luput dari berbagai kepentingan politik yang dapat mempengaruhi dinamika dan hasilnya. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk mengkritisi dan mengawasi proses regenerasi kepemimpinan ini agar benar-benar memberikan kesempatan yang adil dan memperkuat kualitas kepemimpinan politik.

Share:

Monday 11 March 2024

Jangan Tersenyum Pada Orang Buta Dan Jangan Berbisik Pada Orang Yang Tuli


Pagi ini Saya sedang iseng membuka salah satu aplikasi media sosial di perangkat telepon. Tiba-tiba dihadapkan pada sebuah tulisan seperti ini, "jangan tersenyum pada orang buta dan jangan berbisik pada orang yang tuli". Sepintas Saya berucap, "ah perbuatan yang sia-sia, tak ada gunanya kalimat ini". Namun kemudian, kalimat tersebut muncul kembali di akun lain medis sosial yang sama. Akhirnya menimbulkan penasaran Saya untuk mencari makna dari tulisan tersebut.
Tidak banyak referensi yang Saya dapatkan tentang makna kalimat tersebut diantaranya sebagai berikut. Satu yang Saya dapatkan tentang makna kalimat tersebut, yakni sebagai perumpamaan tentang hal yang mubazir (Aditya Nugroho, 2010. eramuslim.com). Seperti menguatkan persepsi awal Saya, bahwa memang tidak ada manfaatnya ketika Kita tersenyum pada orang buta dan berbisik pada orang yang tuli, karena secara lahiriah tidak ada kemampuan untuk berinteraksi dengan kondisi tersebut.
Namun Saya coba memaknai lebih bijak lagi tentang makna kalimat tersebut. Bahwa ungkapan "jangan tersenyum pada orang buta dan jangan berbisik pada orang yang tuli" mengandung makna Kita harus menghargai dan memahami kondisi atau keadaan seseorang sebelum berbicara atau bertindak. Secara kiasan, ungkapan ini mengajarkan kepada Kita untuk mempertimbangkan keadaan, kebutuhan, atau keterbatasan orang lain sebelum berinteraksi dengan mereka.

Dalam konteks ungkapan ini, jika melihat sesuai dengan kondisinya maka Saya memaknai sebagai berikut.
  • Jangan Tersenyum pada Orang Buta: Orang buta tidak bisa melihat senyuman Kita, oleh karena itu tersenyum pada mereka mungkin tidak akan memiliki dampak yang diharapkan. Namun, secara simbolis, ungkapan ini mengingatkan Kita untuk tidak menyakiti perasaan orang lain dengan tindakan yang tidak relevan atau tidak dapat dipahami oleh mereka.
  • Jangan Berbisik pada Orang yang Tuli: Orang yang tuli tidak bisa mendengar pembicaraan Kita, jadi berbisik pada mereka akan sia-sia. Ungkapan ini menegaskan bahwa Kita harus berbicara dengan jelas dan terbuka kepada orang-orang, serta menghormati keadaan mereka dengan tidak berbicara di belakang punggung atau dengan maksud menyembunyikan informasi dari mereka.
Secara keseluruhan, rasanya ungkapan ini mengajarkan kepada Kita untuk lebih peka terhadap orang lain, menghargai keadaan dan keterbatasan mereka, serta berkomunikasi dengan penuh pengertian dan menjunjung rasa hormat.

Share:

Friday 8 March 2024

Belajar, Melupakan, dan Mempelajari Kembali

Dalam era yang terus berkembang dengan cepat, konsep belajar, melupakan, dan mempelajari kembali (learn, unlearn, and relearn) menjadi semakin penting dalam upaya kita untuk tetap relevan dan beradaptasi.

Belajar adalah fondasi dari pertumbuhan dan kemajuan kita sebagai individu. Namun, apa yang sering terlupakan adalah bahwa untuk mempelajari hal-hal baru yang penting, kita harus siap untuk melepaskan pemahaman lama yang mungkin telah menjadi usang atau tidak lagi relevan. Inilah tempat di mana konsep "unlearning" masuk ke dalam permainan.

Proses unlearning bukanlah tentang menghapus pengetahuan kita sepenuhnya, tetapi tentang membuka diri untuk mempertanyakan dan menguji ulang apa yang kita pikirkan kita ketahui. Ini melibatkan mengenali kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam pemahaman kita saat ini dan bersedia melepaskannya untuk memberikan ruang bagi pengetahuan baru.

Namun, unlearning saja tidak cukup. Perubahan konstan dalam dunia kita membutuhkan lebih dari sekadar melupakan hal-hal lama. Kita juga harus mampu memperbarui diri kita dengan cara yang memungkinkan kita untuk mengadopsi ide dan konsep baru. Inilah tempat di mana konsep "relearning" muncul.

Relearning adalah proses mengasimilasi pengetahuan baru ke dalam kerangka pikiran dan praktek kita. Ini melibatkan keterbukaan untuk terus belajar dan berkembang, bahkan setelah kita merasa nyaman dengan tingkat pengetahuan kita saat ini. Dengan cara ini, kita dapat terus berkembang dan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan yang terjadi di sekitar kita.

Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, kemampuan untuk belajar, melupakan, dan mempelajari kembali adalah kunci untuk kelangsungan hidup dan kesuksesan kita sebagai individu dan sebagai masyarakat. Dengan memahami dan mengadopsi siklus ini, kita dapat tetap relevan, inovatif, dan adaptif dalam menghadapi tantangan yang ada di hadapan kita.

Share:

Thursday 7 March 2024

Efektivitas Penegakan Disiplin di Sekolah : Antara Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi

Penegakan disiplin di lingkungan sekolah adalah salah satu aspek penting dalam membentuk lingkungan belajar yang aman, teratur, dan produktif bagi siswa. Namun, pendekatan yang digunakan dalam penegakan disiplin seringkali menjadi bahan perdebatan, terutama ketika berkaitan dengan efektivitasnya dalam mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dalam konteks ini, pembahasan mengenai hukuman, konsekuensi, dan restitusi menjadi perhatian utama.

Hukuman: Pendekatan Tradisional yang Perlu Dipertimbangkan Kembali

Hukuman sering kali menjadi pendekatan yang paling mudah diterapkan dan dipahami. Ini termasuk teguran, penalti fisik, denda, atau bahkan penangguhan dari sekolah. Hukuman dapat memberikan hasil yang cepat dan jelas, yang bisa menjadi efektif dalam menghentikan perilaku yang tidak diinginkan dalam jangka pendek.

Namun, kritik terhadap pendekatan ini muncul karena sering kali hukuman cenderung bersifat reaktif dan tidak memperhatikan penyebab sesungguhnya dari perilaku yang tidak diinginkan. Sanksi yang diberikan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang mendasarinya dapat menyebabkan siswa merasa diabaikan atau bahkan terpinggirkan, yang pada gilirannya dapat memperburuk masalah perilaku. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk merefleksikan ulang pendekatan hukuman dan mempertimbangkan strategi yang lebih holistik dan pembinaan.

Konsekuensi: Mengajarkan Tanggung Jawab dan Pembelajaran

Pendekatan konsekuensi dalam penegakan disiplin menekankan pada pengajaran tanggung jawab dan pembelajaran dari kesalahan. Konsekuensi yang diberikan haruslah proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan siswa. Misalnya, pembersihan ruangan setelah kegiatan sekolah atau tugas-tugas restoratif yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.

Dengan memberikan konsekuensi yang terkait langsung dengan tindakan yang dilakukan, siswa dapat memahami akibat dari perilaku mereka dan belajar untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Lebih dari sekadar hukuman, konsekuensi juga menjadi bagian dari pembelajaran yang berkelanjutan di lingkungan pendidikan.

Restitusi: Memperbaiki Hubungan dan Membangun Kembali Kepercayaan

Restitusi mengacu pada usaha untuk memperbaiki hubungan yang terganggu akibat pelanggaran. Pendekatan ini berfokus pada memperbaiki kerusakan yang terjadi, baik itu secara fisik, emosional, atau sosial. Restitusi dapat berupa permintaan maaf, pemulihan kerugian, atau bahkan partisipasi dalam kegiatan restoratif seperti mediasi antara siswa yang terlibat.

Dengan memperbaiki hubungan dan membangun kembali kepercayaan, pendekatan restitusi tidak hanya menyelesaikan konflik secara langsung, tetapi juga mengajarkan siswa keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif di masa depan.

Kesimpulan: Menemukan Keseimbangan yang Sesuai

Dalam menghadapi tantangan penegakan disiplin di sekolah, penting bagi pendidik dan pihak sekolah umumnya untuk menemukan keseimbangan antara hukuman, konsekuensi, dan restitusi. Pendekatan yang holistik dan berpusat pada pembinaan menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan siswa secara menyeluruh. Sekolah harus memberikan perhatian yang serius terhadap penyebab dari perilaku yang tidak diinginkan, memperkuat hubungan antara guru dan siswa, serta memberikan dukungan yang diperlukan bagi siswa untuk tumbuh dan berkembang.

Menilai keefektifan antara hukuman, konsekuensi, dan restitusi dalam penegakan disiplin di sekolah tidaklah sederhana karena setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan yang perlu dipertimbangkan. Efektivitas suatu pendekatan tergantung pada konteks sekolah, budaya sekolah, karakteristik siswa, serta tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Tidak ada pendekatan penegakan disiplin yang dapat dianggap mutlak lebih efektif dari yang lain. Sebaliknya, pendekatan yang paling efektif seringkali adalah kombinasi dari hukuman, konsekuensi, dan restitusi yang diterapkan dengan tepat sesuai dengan konteks dan kebutuhan individu. Pendidik dan staf sekolah perlu mempertimbangkan faktor-faktor ini saat merancang strategi penegakan disiplin yang menyeluruh dan berkelanjutan. Mempromosikan pembelajaran, pertumbuhan pribadi, dan pembentukan karakter positif harus menjadi fokus utama dalam setiap pendekatan penegakan disiplin di sekolah. Dengan demikian, penegakan disiplin di sekolah bukan hanya tentang menegakkan aturan, tetapi juga tentang membentuk karakter dan mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan mereka yang akan datang.

Share:

Wednesday 6 March 2024

Demam Telolet dan Etika Berlalu Lintas


Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena yang dikenal sebagai "Demam Telolet" telah menjadi sorotan media sosial dan memicu antusiasme yang besar di kalangan masyarakat, terutama di Indonesia. Namun, di balik kegembiraan dan kegilaan yang terjadi, kita harus mengingatkan diri kita akan pentingnya etika berlalu lintas dan keselamatan di jalan raya.

Apa itu Demam Telolet?
Demam Telolet adalah fenomena di mana anak-anak di Indonesia, terutama di daerah Jawa, berdiri di pinggir jalan dan berteriak "Telolet" kepada para pengemudi bus. Mereka berharap agar pengemudi bus akan menyalakan klakson dengan nada khas "Telolet" yang biasanya terdengar dari bus-bus di Indonesia.

Asal Usul Demam Telolet
Asal usul Demam Telolet bisa ditelusuri ke tahun 2016, ketika sekelompok anak-anak di daerah Jawa mulai memposting video di media sosial mereka berteriak meminta supir bus agar menyalakan klakson Telolet. Fenomena ini dengan cepat menyebar dan menjadi viral di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan menarik perhatian internasional.

Dampak Positif dan Negatif
Dampak positif dari Demam Telolet adalah mempererat kebersamaan masyarakat, menghibur, dan menjadi bagian dari budaya populer Indonesia. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga memiliki dampak negatif, terutama terkait dengan keamanan berlalu lintas.

Pentingnya Etika Berlalu Lintas
Di tengah kegembiraan Demam Telolet, kita tidak boleh melupakan pentingnya etika berlalu lintas dan keselamatan di jalan raya. Mengajak supir bus untuk menyalakan klakson Telolet dapat mengganggu konsentrasi mereka dan mengancam keselamatan para penumpang dan pengguna jalan lainnya.

Etika Berlalu Lintas yang Baik
  • Menjaga Fokus dan Konsentrasi : Pengemudi harus selalu fokus pada jalan dan situasi lalu lintas di sekitarnya. Tidak boleh terganggu oleh permintaan atau gangguan di sekitar jalan.
  • Pentingnya Keselamatan : Keselamatan harus menjadi prioritas utama bagi semua pengguna jalan. Tidak boleh melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain.
  • Menghargai Aturan Lalu Lintas : Patuh pada aturan lalu lintas adalah kunci untuk mencegah kecelakaan dan memastikan kelancaran lalu lintas.
  • Pendidikan dan Kesadaran : Penting untuk terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya etika berlalu lintas dan keselamatan di jalan raya.

Kesimpulan
Demam Telolet mungkin hanya sekadar hiburan, tetapi kita harus selalu ingat akan pentingnya keselamatan di jalan raya. Etika berlalu lintas bukanlah hal yang bisa diabaikan, melainkan suatu tanggung jawab bersama untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain. Semoga kita semua dapat menjadi pengguna jalan yang bertanggung jawab dan mengutamakan keselamatan dalam setiap perjalanan.
Share:

Bagaimana Guru Mengelola Keteraturan Kelas ?

Guru Pendidikan Pancasila. SMP Negeri 1 Kuningan

Mengelola suasana kelas yang teratur merupakan langkah penting untuk pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu, Guru perlu mengetahui bagaimana  menerapkannya di kelasnya. Guru juga perlu mengetahui rekomendasi pelatihan belajar  mandiri yang sudah tersedia di Platform Merdeka Mengajar (PMM). Hal ini dapat dijadikan sebagai acuan persiapan pelaksanaan dan tindak lanjut pembelajaran setelah melakukan observasi kelas.
Indikator ini merupakan salah satu kemampuan guru dalam melaksanakan pengelolaan kelas, menonjolkan kemampuan guru dalam menjamin pembelajaran bermanfaat tanpa gangguan yang dapat mempengaruhi konsentrasi siswa selama pembelajaran.
Apa saja fokus perilaku keteraturan suasana kelas yang akan diobservasi oleh kepala sekolah ? Fokus perilaku keteraturan suasana kelas yang akan diobservasi oleh kepala sekolah mencakup beberapa aspek utama sebagai berikut disertai dengan beberapa contoh sederhana.


Komunikasi Positif:
  • Memanggil murid dengan menyebut namanya.
  • Menyampaikan harapan positif terhadap kelas.
  • Melakukan aktivitas yang mencairkan suasana kelas.
  • Menghindari memanggil murid dengan sebutan yang merendahkan.
  • Menghindari menceritakan keluhan atau persoalan sekolah.
  • Menghindari langsung mengajar tanpa mengkondisikan suasana kelas.

Strategi Pengelompokkan:
  • Mengelompokkan murid dengan menyampaikan tujuannya pada murid.
  • Menyediakan beragam peran dalam kelompok agar semua anggota terlibat aktif.
  • Mengajak murid untuk berinteraksi dan berperan aktif dalam kelompok.
  • Menghindari mengabaikan dinamika yang terjadi dalam satu atau lebih kelompok.
  • Menghindari melakukan pengelompokkan yang sama terus menerus.
  • Menghindari membiarkan murid melakukan aktivitas lain yang tidak terkait dengan pembelajaran.

Membuat dan Mengingatkan Aturan atau Kesepakatan Kelas:
  • Membuat aturan/kesepakatan kelas yang disetujui semua murid dan ditempel di kelas.
  • Mengajak murid untuk mengingat aturan/kesepakatan kelas yang telah disepakati.
  • Mengajak murid menilai seberapa efektif pelaksanaan aturan/kesepakatan kelas.
  • Menghindari tidak menyebutkan aturan/kesepakatan kelas ketika menegur murid.
  • Menghindari melanggar aturan/kesepakatan kelas tanpa mengakuinya.
  • Menghindari menetapkan aturan kelas tanpa mendiskusikannya dengan murid.

Dengan memperhatikan dan mengimplementasikan perilaku-perilaku tersebut, diharapkan suasana kelas dapat lebih teratur, kondusif, interaktif, dan mendukung proses pembelajaran yang efektif.

Share:

Tuesday 5 March 2024

Salah Satu Miskonsepsi Dalam Observasi Kinerja Guru



Ternyata didalam pelaksanaan observasi kinerja Guru yang dinilai bukan lengkap dan tebalnya modul ajar, banyak yang keliru. Masih ada yang beranggapan bahwa pengelolaan kinerja sekarang sama saja dengan pengelolaan kinerja sebelumnya. Yang membedakan hanya medianya. Dulu pengelolaan kinerja Guru, salah satunya dilaksanakan melalui supervisi ke kelas dan Guru menyiapkan begitu banyak dokumen berbasis kertas. Sekarang media yang digunakan berbasis teknologi menggunakan Platform Merdeka Mengajar (PMM). Sehingga yang dikambing-hitamkan adalah Platformnya. Belum lagi ada aplikasi yang dipergunakan oleh setiap daerah untuk mengelola kinerja Guru. Sehingga, seolah-olah bertambahlah beban kinerja dari Guru.
Padahal banyak hal mendasar yang berbeda, dimana justru akan membuat Guru lebih fokus pada Murid di kelas. Contohnya, seperti diulas di atas. Pada masa supervisi dulu, mungkin saat akan disupervisi oleh Kepala Sekolah para Guru mendadak sibuk berlomba membuat Rencana Pelaksanaan Pelajaran (RPP) yang lengkap, bahkan sampai mengkondisikan kelasnya agar terkontrol dan pelaksanaan supervisi berjalan sesuai harapan. Kepala Sekolah menilai kesesuaian antara RPP dengan pelaksanaan pembelajaran yang Guru lakukan, kemudian memberikan penilaian tebal dan lengkapnya RPP. Lalu diakhir supervisi memberikan evaluasi terhadap dokumen tersebut, "baik", "harap diperbaiki", dan lainnya.
Dimasa pengelolaan kinerja sekarang, Guru tidak perlu repot-repot dan terlihat sibuk guna mempersiapkan jadi kelihatan baik meski untuk sesaat. Baik dari RPP atau Modul Ajar, hingga mengkondisikan kelas supaya terlihat kemampuan pengelolaan kelasnya. Apa adanya saja, seperti setiap hari Guru melakukan kegiatan mengajar. Sehingga pada saat observasi kelas dilakukan, Kepala Sekolah melihat kondisi pembelajaran yang sesungguhnya, sesuai dengan rubrik observasi setiap Guru yang dinilai. Tidak ada pelabelan predikat baik dan buruk terhadap pelaksanaan observasi kelas yang dilakukan oleh Guru. Kondisi yang terlihat dijadikan sebagai kondisi awal pada observasi kelas. Bagi Guru hal itu berguna untuk dijadikan bahan diskusi bersama tentang langkah-langkah perbaikan, membuat kondisi pembelajaran menjadi lebih berdampak positif untuk Murid.
Share:

Website Translator

Visitors

Visitors Location

Followers Blog

Submit Comments